BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Gagal Jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk memompa secara adekuat (Hudak & Gallo, 2011).
Pada kondisi kegagalan Jantung kanan terjadi afterload yang berlebihan pada ventrikel kanan karena peningkatan tekanan vaskular pulmonal sebagai akibat dari disfungsi ventrikel kiri. Ketika ventrikel kanan mengalami kegagalan, peningkatan tekanan diastolik akan berbalik arah ke atrium kanan yang kemudian menyebabkan terjadinya kongesti vena sistemik (Lilly, 2011).
Kegagalan jantung kanan sering kali mengikuti kegagalan jantung kiri tetapi bisa juga disebabkan oleh karena gangguan lain seperti atrial septal defek cor pulmonal (Lilly, 2011 didalam Crawford, 2009).
1.2 Rumusan masalah
1. Definisi gagal ginjal kanan
2. Penyebab
3. Phatofisiologi
4. Pathogenesis
5. Manifestasi klinis
6. Komplikasi
7. Pemeriksaan diagnostik
8. Penatalaksanaan
9. Implikasi keperawatan
10. Asuhan keperawatan
1.3 Tujuan masalah
1. Mengetahui definisi gagal ginjal kanan
2. Mengetahui Penyebab
3. Mengetahui Phatofisiologi
4. Mengetahui Pathogenesis
5. Mengetahui Manifestasi klinis
6. Mengetahui Komplikasi
7. Mengetahui Pemeriksaan diagnostik
8. Mengetahui Penatalaksanaan
9. Mengetahui implikasi keperawatan
10. Mengetahui asuhan keperawatan
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Gagal jantung adalah kondisi dimana otot jantung sangat lemah sehingga tidak bisa memompa darah ke seluruh tubuh. Kondisi ini juga disebut jantung kongestif.
Gagal Jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk memompa secara adekuat (Hudak & Gallo, 2011).
Pada kondisi kegagalan Jantung kanan terjadi afterload yang berlebihan pada ventrikel kanan karena peningkatan tekanan vaskular pulmonal sebagai akibat dari disfungsi ventrikel kiri. Ketika ventrikel kanan mengalami kegagalan, peningkatan tekanan diastolik akan berbalik arah ke atrium kanan yang kemudian menyebabkan terjadinya kongesti vena sistemik (Lilly, 2011).
Gagal jantung kanan adalah ketika jantung gagal memompa darah dengan baik, maka terjadi penurunan kapasitas memompa pada ruang jantung kanan, dan disebut gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan sering terjadi sekunder terhadap gagal jantung kiri. Ketika gagal jantung kiri terjadi, terutama pada ventrikel kiri gagal memompa darah ke aorta, sehingga darah kembali ke jantung kiri. Akibatnya tekanan pada ventrikel kiri meningkat.
Di sisi lain aliran darah ke atrium kiri dari paru-paru melalui vena pulmonalis. Akibatnya tekanan pada pulmonal meningkat. Ventrikel kiri menjadi berkontraksi lebih keras karena terdapat resistensi pada paru. Bila berlangsung lama, maka otot jantung pada ventrikel kanan mulai melemah dan membesar, menyebabkan gagal jantung kanan. Meskipun sering tidak terlihat, gagal jantung kanan dapat disebkan penyakit paru, seperti bronkoektasis, COPD dan tromboemboli pulmonel.
Gagal jantung kanan, meliputi edema pada region tubuh seperti kaki. Pada kondisi kronis, pasien tampak asites ( adanya cairan pada ruang perut ) dan efusi pleura ( adanya cairan pada rongga paru ). Gejala lain, terjadi organomegali seperti hepatogemali.
2.2 Penyebab
Penyebab umum gagal jantung adalah
1. Penyakit jantung koroner dan serangan jantung (yang mungkin diam)
2. Kardiomiopati (penyakit otot jantung)
3. Tekanan darah tinggi (hipertensi)
4. Penyakit katup jantung
5. Penyakit jantung bawaan
6. Alkoholisme dan penggunaan obat
Pada penyakit jantung koroner, arteri pemasok darah ke jantung menyempit atau tersumbat. Seseorang mengalami serangan jantung ketika aliran darah ke daerah jantung tersumbat seluruhnya. Otot jantung menderita kerusakan ketika asupan darah berkurang atau tersumbat. Jika kerusakan mempengaruhi kemampuan jantung untuk memompa darah, gagal jantung terjadi. Beberapa serangan jantung terjadi tanpa disadari. Kardiomiopati mungkin disebabkan oleh penyakit arteri jantung dan berbagai masalah jantung lainnya. Kadang kala, penyebabnya tidak ditemukan, hal ini dikenal dengan kardiomiopati idiopatik. Kardiomiopati dapat melemahkan otot jantung, menyebabkan gagal jantung. Tekanan darah tinggi merupakan penyebab umum gagal jantung lainnya. Tekanan darah tinggi membuat jantung bekerja berat untuk memompa darah. Beberapa saat kemudian, jantung tidak dapat menyesuaikan dan gejala gagal jantung timbul. Kerusakan katub jantung, penyakit jantung keturunan, alkoholisme, dan penggunaan obat sembarangan menyebabkan kerusakan jantung yang dapat menyebabkan gagal jantung.
2.3 Pathofisiologi dan pathogenesis
Gagal jantung kanan terjadi saat curah bilik jantung kanan berkurang dari masukan dari sirkulasi vena sistemik. Akibatnya, sirkulasi vena sistemik terbendung, dan curah ke paru menurun. Penyebab utama diakibatkan oleh gagal jantung kiri, yang menyebabkan tekanan pulmonel naik, sehingga bilik jantung bertambah bebannya. Selain itu dapat pula disebabkan oleh penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), embolus pulmonel dan efek jantung bawaan. Gagal jantung kanan yang diakibatkan oleh penyakit paru disebut cor pulmonale darah dari sirkulasi sistemik gagal dipompa secara adekuat kedalam sirkulasi paru oleh jantung kanan, akibatnya darah banyak terkumpul dalam sirkulasi sistemik. Keadaan jantung kanan yang kronis dan cukup berat, akan timbul gejal a pembendungan sirkulasi sistemik. Keadaan gagal jantung kanan yang kronis dan cukup berat, akan timbul gejala pembendungan sirkulasi sistemik yang berarti.
Tanda-tanda yang dapat ditemukan berupa peningkatan vena jugularis, hepatomegali, hepatojugular reflux, dan edema perifer. Asites juga terjadi bila gagal jantung kanan sudah berat dan dapat menyebabkan restriksi pernapasan dan tekanan abdomen. Pada gagal jantung kanan murni (tidak didahului oleh gagal jantung kiri), gejala pulmonal minimal sampai tidak ada. Edema perifer mungkin dan secara bertahap mmpengaruhi kebanyakan jaringan tubuh.
2.4 Manifestasi klinis
1. Pembesaran ventrikel kanan
Hipertrofi ventrikel kanan atau dalam bahasa inggrisnya Right Ventricular Hyperthropy (LVH) singkatnya merupakan penebalan atau penambahan massa otot atau miokardium dari ventrikel kanan sebuah jantungi dalam EKG, akibat adanya penambahan massa otot ventrikel kanan akan terjadi penambahan kekuatan voltase arus listrik jantung pada bagian ventrikel sebelah kanan
2. Murmur
Murmur jantung adalah kondisi di mana terdapat suara tiupan atau desingan yang muncul ketika aliran darah bergerak melalui jantung atau pembuluh darah di sekitar jantung tidak normal atau mengalami turbulensi. Murmur bisa terdengar dengan stetoskop. Denyut jantung normal membuat dua suara seperti “lub-dup”, yang merupakan suara katup. Sebagian besar murmur jantung tidak berbahaya dan tidak memerlukan perawatan apa pun. Namun ada pengecualian, murmur bisa menjadi gejala dari masalah jantung, misalnya katup jantung yang rusak atau telalu banyak bekerja. Beberapa orang juga terlahir dengan gangguan katup jantung, dan yang lainnya menganggap ini sebagai bagian dari penuaan atau masalah jantung lainnya.
3. Edema perifer
Bengkak atau edema perifer adalah temuan non-spesifik yang sering dijumpai dalam berbagai kondisi medis dan dapat menimbulkan tantangan diagnostik bagi dokter. Penyebabnya berkisar dari kondisi jinak yang dapat dikelola sendiri oleh pasien sampai kegagalan organ utama yang membutuhkan rujukan spesialis atau rumah sakit. Sebuah pemeriksaan sistematis dari pasien dengan rasionalisasi juga hemat biaya direkomendasikan sebagai langkah awal dalam manajemen edema.
Mekanisme fisiologis edema perifer paling sering disebabkan oleh ekstravasasi cairan dari pembuluh darah ke dalam interstisium sebagai akibat dari perubahan hemodinamik vaskular. Starling menjelaskan mekanisme penyebab edema perifer sebagai:
a. Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular.
b. Penurunan tekanan intravaskular atau tekanan onkotik plasma (osmotik koloid).
c. Permeabilitas pembuluh darah yang meningkat.
4. Peningkatan BB
Tubuh yang lebih besar memerlukan darah lebih banyak. Saat berat badan Anda bertambah, jantung akan memompa lebih banyak darah daripada sebelumnya. Bukannya berdetak lebih sering, jantung akan bertambah besar agar bisa mengalirkan lebih banyak darah pada setiap detakan. Peningkatan aliran darah dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, yang merupakan penyebab utama penyakit jantung.
Walau tekanan darah tidak bertambah, jantung bisa menderita beban kerja yang bertambah. Saat ruang jantung membesar, kemampuan meremas berkurang. Pada akhirnya, jantung tidak dapat mengeluarkan darah pada tiap detak jantung. Saat darah mulai menggenang di jantung, Anda dapat mengalami gagal jantung kongestif.
5. Peningkatan HR
Detak jantung cepat disebut juga dengan istilah takikardia. Ini adalah kondisi yang terjadi karena adanya gangguan impuls listrik yang mengendalikan jumlah rata-rata detak jantung. Digolongkan takikardia yaitu jika seseorang yang sedang dalam kondisi beristirahat memiliki detak jantung melebihi dari 100 kali per menit.Takikardia bisa muncul tanpa menimbulkan komplikasi, namun juga bisa meningkatkan risiko stroke, gangguan fungsi jantung hingga henti jantung, dan bahkan kematian. Penelitian mengenai detak jantung saat istirahat yang dilakukan selama 10 tahun menunjukkan, risiko kematian lebih tinggi pada partisipan yang mengalami peningkatan detak jantung selama kurun waktu tersebut, dibandingkan yang tetap stabil.
6. Asites
Asites adalah penumpukan cairan (biasanya cairan benang dan cairan serosa yang berwarna kuning pucat) di rongga perut. Rongga perut terletak di bawah rongga dada, dipisahkan denga diafragma. Asites dapat terjadi akibat berbagai kondisi seperti penyakit hati (liver), kanker, gagal jantung kongestif atau gagal ginjal.
7. Distensi vena jugularis
Tekanan vena jugularis atau Jugularvenouspressure (JVP) dalam bahasa Inggris, adalah tekanan sistem vena yang diamati secara tidak langsung (indirek). Secara langsung (direk), tekanan sistem vena diukur dengan memasukkan kateter yang dihubungkan dengan sphygmomanometer melalui vena subclavia dextra yang diteruskan hingga ke vena centralis (vena cava superior). Karena cara tersebut invasif, digunakanlah vena jugularis (externadexter) sebagai pengganti sphygmomanometer dengan titik nol (zero point) di tengah atrium kanan. Titik ini kira-kira berada pada perpotongan antara garis tegak lurus dari angulus Ludovici ke bidang yang dibentuk kedua lineamidaxillaris.
Vena jugularis tidak terlihat pada orang normal dengan posisi tegak. Ia baru terlihat pada posisi berbaring di sepanjang permukaan musculussternocleidomastoideus. JVP yang meningkat adalah tanda klasik hipertensi vena (seperti gagal jantung kanan). Peningkatan JVP dapat dilihat sebagai distensi vena jugularis, yaitu JVP tampak hingga setinggi leher; jauh lebih tinggi daripada normal.
8. Hepatomegali
Hepatomegali adalah pembesaran ukuran organ hati. Kondisi ini umumnya terjadi karena adanya penyakit pada organ hati, salah satunya adalah hepatitis. Namun bisa juga karena penyakit lainnya. Hati merupakan organ yang memiliki banyak peran penting. Di antaranya adalah untuk memproduksi cairan empedu guna mencerna lemak, menyimpan gula jenis glukosa sebagai cadangan energi tubuh, dan membersihkan tubuh dari zat-zat berbahaya.
9. Efusi pleura
Efusi pleura adalah kondisi yang ditandai oleh penumpukan cairan di antara dua lapisan pleura. Pleura merupakan membran yang memisahkan paru-paru dengan dinding dada bagian dalam. Cairan yang diproduksi pleura ini sebenarnya berfungsi sebagai pelumas yang membantu kelancaran pergerakan paru-paru ketika bernapas. Namun ketika cairan tersebut berlebihan dan menumpuk, maka bisa menimbulkan gejala-gejala tertentu.
2.5 Komplikasi
1. Kerusakan atau kegagalan ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani. Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat membutuhkan dialysis untuk pengobatan.
2. Masalah katup jantung
Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga dapat terjadi kerusakan pada katup jantung.
3. Kerusakan hati
Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cairan ini dapat menyebabkan jaringan parut yang mengakibatkan hati tidak dapat berfungsi dengan baik.
4. Serangan jantung dan stroke
Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung dari pada dijantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan resiko terkena serangan jantung atau stroke.
2.6 Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan foto thorax
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung ( cardio thoraxic ratio > 50% ), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 MmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 MmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya edema paru yang bermakna. Dapat pula gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan .
2. EKG 12 led
Pada EKG 12 led didaptkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10 % kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST-T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle brunch block dan fibriasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dipneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.
3. Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah: semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan resiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui resiko emboli.
4. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.
5. Pemeriksaan radionuclide
Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection franction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan ( atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.
2.7 Penatalaksanaan
Respon fisiologis pada gagal jantung membentuk dasar rasional untuk tindakan. Sasaran penatalaksanaan gagal jantung kongestif adalah untuk menurunkan kerja jantung, untuk meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokard, dan untuk menurunkan retensi garam dan air.
1. Tirah Baring
Karena jantung tidak dapat diharapkan untuk benar-benar istirahat untuk sembuh seperti luka pada patah tulang, maka hal terbaik yang dilakukan adalah mengistirahatkan pasien; dengan demikian, melalui inaktivitas, kebutuhan pemompaan jantung diturunkan. Tirah baring merupakan bagian yang penting dari pengobatan gagal jantung kongestif, khususnya pada tahap akut dan sulit disembuhkan.
Selain itu untuk menurunkan seluruh kebutuhan kerja pada jantung, tirah baring membantu dalam menurunkan beban kerja dengan menurunkan volume intravascular melalui induksi diuresis berbaring. Penelitian tirah baring lama telah menunjukkan bahwa dalam 48 sampia 72 jam inaktivitas terdapat penurunan volume plasma 300ml atau lebih. Meskipun ini bukan volume besar dari cairan kompartemen vascular seluruhnya, ini membantu dalam menurunkan beban volume yang ada untuk mengisi jantung. Untuk itu membantu dalam menurunkan beban volume dilatasi ruang jantung dan memberikan status kompensasi. Efek ini akibat dari stimulasi reseptor regangan atrium yang mendeteksi peningkatan volume darah yang kembali ke sisi kanan jantung, yang akan tersisih di ekstremitas bawah bila pasien berdiri. Reseptor ini kemudian “turn off” produksi hormon antidiuretik dan diuresis terjadi kemudia. Dengan penurunan volume intravascular dan jumlah darah yang ada untuk dipompa oleh jantung (preload), kompensasi jantung dapat ditingkatkan.
2. Diuretik
Selain tirah baring, pembatasan garam dan air serta diuretik, baik oral maupun parental, akan menurunkan preload dan kerja jantung. Semua diuretik, tanpa memperhatikan rute pemberiannya, dapat menyebab perubahan bermakna pada elektrolit serum, khususnya kalium dan klorida. Untuk itu, penentuan pengaturan elektrolit serum penting pada evaluasi pasien. Ini adalah rute utama bila pasien juga menerima digitalis karena kalium rendah dihasilkan oleh diuretik yang merupakan predisposisi pada toksisitas digitalis, mengancam hidup tetapi komplikasi yang dapat dihindari. Karena kemungkinan ini, suplemen kalium bisa diprogramkan bila diuretik yang menurunkan kalium diberikan, khususnya bila digitalis diberikan juga.
Sasaran-sasaran untuk Penatalaksanaan Gagal Jantung
a. Menurunkan kerja jantung
b. Meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokard
c. Menurunkan retensi garam dan air
Pilihan rute pemberian diuretik terutama fungsi kegawatan dari situasi klinis. Gagal ventrikel kiri ringan sampai sedang (dimanifestasikan oleh sinus takikardi, rale pasca batuk rejan, dan S3) biasanya dapat diataso dengan sediaan oral; namun, edema pulmonal akut, situasi mengancam hidup, memerlukan pendekatan yang lebih drastis dan rute parental harus dipilih.
Dengan kata lain preload dan afterload adalah pendekatan yang ada untuk penatalaksanaan status kegagalan akut dan kronik. Baik metode farmaklogis dan mekanikal dapat bermanfaat.
3. Morfin
Morfin adalah obat yang paling berguna dalam menangani edema pulmonal akut. Morfin dapat mencapai manfaat melalui efek vasodilatasi perifer, membentuk penampungan darah perifer (flebotomi pucat) yang menurunkan aliran balik vena dan kerja jantung. Selain itu, morfin menghilangkan ansietas yang berhubungan dengan dispnea berat dan menenangkan pasien, dengan demikian menurunkan mekanisme pompa pernafasan untuk meningkatkan aliran balik vena. Morfin juga menurunkan tekanan darah arteri dan tahanan, mengurangi kerja jantung (penurunan afterload)
4. Reduksi Volume Darah Sirkulasi
Bahkan metode yang lebih dramatis dari penurunan preload dan kerja jantung adalah flebotomi, suatu prosedur yang bermanfaat pada pesien dengan edema pulmonal akut karena tindakan ini dengan segera memindahkan volume darah dari sirkulasi sentral, menurunkan aliran balik vena dan tekanan pengisian, serta sebaliknya menciptakan masalah hemodinamik dasar segera.
Flebotomi dapat pucat (pemutaran torniket), atau seluruh darah dipindah secara langsung dari sirkulasi. Torniket kurang efektif daripada pemindahan darah langsung. Meskipun flebotomi dapat membantu dalam menangani edema pulmonal akut, ini mungkin berbahaya pada pasien yang tidak mengalami peningkatan volume intravascular. Situasi ini paling umum terjadi pada pasien dengan infark miokard akut yang mengalami kerusakan otot luas dan awitan cepatedema pulmonal sebelum ginjal dapat berkonpetensi terhadap penurunan curah jantung dan retensi air.
5. Terapi nitrat dan vasodilator
Penggunaan nitrat, baik secara akut maupun kronis, telah didukung dalam penatalaksanaan gagal jantung. Dengan menyebabkan vasodilator perifer, jantung di “unloaded”(penurunan afterload), pada peningkatan curah jantung lanjut, penurunan pulmonary artery wedge pressure (pengukuran yang menunjukkan derajat kongesti vaskular pulmonal dan beratnya gagal ventrikel kiri), dan penurunan pada konsumsi oksigen miokard. Bentuk terapi ini telah di ketahui bermanfaat pada gagal ringan sampai sedang dan gagal edema pulmonal akut berhubungan dengan infark miokard, gagal ventrikel kiri yang sulit sembuh kronis, dan kegagalan yang berhubungan dengan regurditasi mitral bera. Saat ini, terapi vasodilator parenteral (nitrogliserin parenteral atau nitropusit natrium) memerlukan pemantauan hemodinamik akurat dari tekanan wedge arteri dan pulmonal (kanul arteri dan kateter Suan-Ganz) dan penggunaan pompa infus untuk menitrasi dengan cermat dosis yang di berikan.
Nitropusit harus digunakan pada perawatan. Terapi nitrat kerja-panjang biasanya di berikan dengan salep nitrogliserin. Beberapa pasien yang menerima keuntungan maksimal dari terapi bentuk lain untuk gagal venrtikel kiri telah membaik secara bermakna dengan pengobatan vasodilator. Terapi nitrat jangka panjang tidak hanya menghilangkan gejala tetapi tampak memperbaiki prognosis gagal jantung.
6. Digitalis
Meskipun perubahan kerja jantung dengan menurunkan preload dan afterload diindikasikan pada gagal jantung dan pada waktunya memungkinkan penghindaran obat-obatan yang meningkatkan kerja kontraksi miokard, agen inotropik masih merupakan alat terapetik penting.
Digitalis adalah obat utama untuk meningkatkan kontraktilitas. Obat inotropik ini mempunyai keseragaman penggunaan pada kardiologi dan juga salah satu yang paling potensial berbahaya, kenyataan ini diketahui pada 1785 oleh william withering, penemu nilai farmakologis dan toksisitas digitalis (foxglove) : “Digitalis bila diberikan dalam dosis yang sangat besar dan dengan cepat di ulang kadang-kadang membuat mabuk, muntah, pandangan kacau, bersifat laksatif, objek tampak hijau atau kuning, peningkatan sekresi urin dengan gerakan yang sering dan kadang-kadang ketidak mampuan untuk menahannya; nadi lambat bahkan serendah 35 dalam satu menit. Keringat dingin, kekacawan mental, sinkope dan kematian“ pada kegagalan jantung digitalis memperlambat frekwensi ventrikel dan meningkatkan kekuatan kontraksi, peningkatan efisiensi jantung. Saat curah jantung meningkat, volume cairan lebih besar dikirim ke ginjal untuk filtrasi dan ekskresi, dan volume intrafaskular menurun.
Pada kegagalan awal pada infark miokard akut, digitalis dapat meningkatkan jumlah potensial kerusakan miokard dengan peningkatkan kontraktilitas dengan demikian meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Pengobatan kegagalan pada situasi ini kemungkinan yang terbaik bila preload atau afterload diturunkan dengan menggunakan bioretik atau nitrat pasien dengan gagal jantung lebih berat mungkin mendapatkan keuntungan dari terapi digitalis jangka panjang. Mempertahankan kadar obat harum 1,54 sampai 2,56 nmol/liter dapat memperbaiki toleransi latihan dan kualitas hidup penderita gagal jantung kongestif. Tentu saja, bila penurunan bermakna pada tekanan aortik senral terjadi, perfusi arteri koroner dapat turun dan area kerusakan meningkat. Kunci pelajaran di sini adalah bahwa obat-obatan mempunyai potensial efek samping berbahaya, dimana program penatalaksanaan harus dipilih dengan perawatan dan dengan pemahaman penuh tentang potensial efek samping merugikan, dan bahwa pemantauan ketat pasien diharuskan.
7. Inotropik positif
Dopamin, pada dosis rendah 2,5 sampai 5,0 µg/kg, akan merangsang α-adrenergik, β-adrenergek, dan reseptor dopamin. Ini mengakibatkan keluarnya katekolamin dari sis penyimpanan saraf,memperbaiki kotraktilitas dan mendilatasi ginjal, spanglikus, selebral, dan pembulu koroner. Reduksi kecil pada tahanan vaskular sistemik dapat dilihat. Dosis lebih besar (5-10 µg/kg),respons inotropik positif (kekuatan kontraksi),kromoktropik (frekuensi jantung ),dan dromogtrapik (kecepatan konduksi) terjadi. Ini meningkatkan frekuensi jantung,curah jantung,dan isi sekuncup.Pada dosis maksimal (10-20 µg/kg),vasekonstriksi terjadi,meningkatkan beban kerja jantung.
Dobutamin merangsang hanya reseptor β-adrenergik dan mengakibatkan sedikit vasekonstriksi. Dosisnya mirip dengan dobumin,tetapi dobutamin sintesis akan memperbaiki isi kuncup dan curah jantung dengan sedikit vasekonstriksi dan takikardi.
8. Tindakan-tindakan mekanis
Dukungan mekanis ventrikel kiri dimulai pada tahun 1967 penuh dengan konterpulasi balon intra-aurtik atau pompa PBIA. Dukungan sementara ini meningkatkan aliran darah koroner,memperbaiki isi sekuncup dan mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri. Selama 1970-an pendukung mekanis dikembangkan.Penggunaan ekstra corporeal membran oxygenation (ECMO) muncul. Alat ini menggantikan fungsi jantung atau paru,mengakibatkan aliran darah dan pertukaran gas.Oksigenasi membran ekstra corporeal dapat digunakan untuk memberi waktu sampai tindsakan pasti seperti bedah bypass arteri koroner.Perbaikan sektum,atau trasplantasi jantung dapat dilakukan.
Alat bantu ventrikel kiri (ABCK) telah digunakn sebagai terapi jembatan untuk mempertahankan hidup sampai pembedahan atau trasplantasi dilakukan. Alat ini memberikan aliran kedepan untuk mempertahankan sirkulasi arteri koroner dan sistemik.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Implikasi keperawatan
Peran perawat menurut konsorium ilmu kesehatan terdiri dari sebagai berikut (Hidayat, 2008) terdiri dari :
1. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan.
2. Peran sebagai advokat pasien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarganya dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasienyang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya dan hak atas privasi.
3. Peran educator
Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
4. Peran koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan pasien.
5. Peran kolaborator
Peran perawat di sini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain- lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
6. Peran konsultan
Di sini perawat berperan sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.Peranini dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
7. Peran pembaharu
Peran ini dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
3.2 Asuhan keperawatan
A. Pengkajian
1. Aktivitas/istrahat
a. Gejala
1) Keletihan/kelemahan terus menerus sepanjang hari.
2) Insomnia.
3) Nyeri dada dengan aktivitas.
b. Tanda
1) Gelisah
2) perubahan status mental.
2. Sirkulasi
a. Gejala
1) Riwayat hipertensi
2) IM akut
3) Episode GJK sebelumnya
4) Penyakit katup jantung
5) Bedah jantung
6) Endokarditis.
b. Tanda
1) TD : rendah (gagal pemompaan), normal (GJK ringan atau kronis), atau tinggi (kelebihan beban cairan).
2) Frekuensi jantung : takikardi.
3) Irama jantung : disritmia.
4) Bunyi jantung : S3 (gallop).
5) Nadi : nadi perifer berkurang; perubahan dalam kekuatan denyutan.
6) Punggung kuku : pucat atau sianosis dengan pengisisan kapiler lambat.
7) Bunyi napas : ronki, krekels.
3. Integritas ego
a. Gejala
1) Ansietas.
2) Stress yang berhubungan dengan penyakit.
b. Tanda
a) Berbagai manifestasi prilaku.
4. Eleminasi
a. Gejala
1) Penurunan berkemih.
2) Diare.
5. Makanan dan cairan
a. Gejala
1) Kehilangan nafsu makan
2) Mual/muntah
3) Penambahan berat badan yang signifikan.
b. Tanda
1) Penambahan beerat badan cepat.
6. Pernapasan
a. Gejala
1) Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk, atau dengan beberapa bantal.
2) Batuk dengan atau tanpa sputum.
3) Penggunaan bantuan pernafasan.
b. Tanda
1) Pernapasan : takipnea.
2) Batuk : kering/nonproduktif atau mungkin batuk terus menerus dengan atau tanpa sputum.
B. Diagnosa keperawatan
1. Penurunan curah jantung menurun berhubungan dengan perubahan kontraktilitas miokardia, perubahan frekuensi, irama, perubahan structural (kelainan katup).
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penigkatan produksi ADH, resistensi natrium dan air.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan volume paru, hepatomegali, splenomigali.
4. Integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan perfusi jaringan.
C. Perencanaan keperawatan
1. Penurunan curah jantung menurun berhubungan dengan perubahan kontraktilitas miokardia, perubahan frekuensi, irama, perubahan structural (kelainan katup).
a. Tujuan :
1) Menununjukan tanda vital dalam batas normal, dan bebas gejala gagal jantung.
2) Melaporkan penurunan episode dispnea, angina.
3) Ikut serta dalam aktvitas mengurangi beban kerja jantung.
b. Intervensi
1) Aukskultasi nadi, kaji frekuensi jantung, irama jantung.
Rasional : agar mengetahui seberapa besar tingkatan perkembangan penyakit secara universal.
2) Pantau TD
Rasional : pada GJK peningakatan tekanan darah bisa terjadi kapanpun.
3) Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis.
Rasional : pucat menunjukan menurunnya perfusi perifer sekunder terhadap tidak adekuatnya curah jantung. Sianosis dapat terjadi akibat dari suplai oksigen yang berkurang pada jaringan atau sel.
4) Berikan pispot di samping tempat tidur klien.
Rasional : pispot digunakan untuk menurunkan kerja ke kamar mandi.
5) Tinggikan kaki, hinderi tekanan pada bawah lutut.
Rasional : menurunkan statis vena dan dapat menurunkan insiden thrombus atau pembentukan emboli.
6) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker sesuai indikasi.
Rasional : meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard, untuk melawan hipoksia.
7) Berikan obat sesuai indikasi.
Vasodilator, contoh nitrat (nitro-dur, isodril).
Rasional : vasodilator digunakan untuk meningkatkan curah jantung, dan menurunkan volume sirkulasi.
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penigkatan produksi ADH, resistensi natrium dan air.
a. Tujuan
1) Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan cairan pemasukan dan pengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil, dan tak ada edema.
b. Intervensi
1) Pantau haluaran urin, catat jumlah dan warna.
Rasional : haluaran urin mungkin sedikit dan pekat karena perunan perrfusi ginjal.
2) Ajarkan klien dengan posisi semifowler.
Rasional : posisi terlentang atau semi fowler meningkatakan filtrasi ginjaldan menurunkan ADH sehingga meningkatkan dieresis.
3) Ubah posisi klien dengan sering.,
Rasional : pembentukan edema, sirkulasi melambat, gangguan pemasukan nutrisi dan inmobilisasi atau baring lama merupakan kumpulan stressor yang mempengaruhi integritas kulit dan memerlukan intervensi pengawasan ketat.
4) Kaji bising usus. Catat kelluhan anoreksia, mual.
Rasional : kongesti visceral dapat menganggu fungsi gaster/intestinal.
5) Berikan makanan yang mudah dicerna, porsi kecil dan sering.
Rasional : penurunan mortilitas gaster dapat berefek merugikan pada digestif dan absorsi. Makan sedikit dan sering meningkatkan digesti/mencegah ketidaknyamanan abdomen.
6) Palpasi hepatomegali. Catat keluhan nyeri abdomen kuadran kanan atas/nyeri tekan/
Rasional : perluasan gagal jantung menimbulkan kongesti vena, menyebabkan distensi abdomen, pembesaran hati, dan menganggu metabolism obat.
7) Pemberian obat sesuai indikasi.
a) Diuretic contoh furrosemid (lasix), bumetanid (bumex).
Rasional : meningkatkan laju aliran urin dan dapat menghambat reabsorbsi natrium pada tubulus ginjal.
b) Tiazid dengan agen pelawan kalium, contoh spironolakton (aldakton).
rasional meningkatkan diuresi tanpa kehilangan kalium berlebihan.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan volume paru, hepatomegali, splenomigali.
a. Tujuan
1) Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selam di RS, RR Normal , tak ada bunyii nafas tambahan dan penggunaan otot Bantu pernafasan. Dan GDA Normal.
b. Intervensi
1) Monitor kedalaman pernafasan, frekuensi, dan ekspansi dada.
Rasional : distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat dari diafragma yang menekan paru-paru.
2) Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu nafas
Rasional : kesulitan bernafas dengan ventilator dan/atau peningkatan tekanan jalan napas di duga memburuknya kondisi/terjadinya komplikasi.
3) Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas krekels, mengi.
Rasional : bunyi napas menurun/tak ada bila jan napas obstruksi sekunder terhadap perdarahan, krekels dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/kegagalan pernapasan
4) Tinggikan kepala dan bantu untuk mencapi posisi yang senyaman mungkin.
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahka pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
4. Integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan perfusi jaringan.
a. Tujuan
1) Mempertahankan integritas kulit.
2) Mendemonstrasikan prilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.
b. Intervensi
1) Kaji kulit, adanya edma, area sirkulasi terganggu, atau kegemukan/kurus.
Rasional : kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer, dan gangguan status nutrisi.
2) Pijat area yang kemerahan atau memutih.
Rasional : meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jarinagan.
3) Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu rentang gerak aktif/pasif.
Rasional : memperbaiki sirkulasi/menurunkan waktu satu area yang meganggu aliran darah.
4) Berikan perawatan kulit sering, meminimalkan dengan kelembaban.
Rasional : terlalu kering atau lembab merusak kulit dan mempercepat kerusakan.
5) Hindari obat intramuscular.
Edema intertisisal dan gangguan sirkulasi memperlambat absorbs obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya infeksi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gagal Jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk memompa secara adekuat (Hudak & Gallo, 2011).
Pada kondisi kegagalan Jantung kanan terjadi afterload yang berlebihan pada ventrikel kanan karena peningkatan tekanan vaskular pulmonal sebagai akibat dari disfungsi ventrikel kiri. Ketika ventrikel kanan mengalami kegagalan, peningkatan tekanan diastolik akan berbalik arah ke atrium kanan yang kemudian menyebabkan terjadinya kongesti vena sistemik (Lilly, 2011).
Terdapat tiga aspek penting dalam menanggulangi gagal jantung yaitu pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan terhadap faktor pencetus . Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung. Sekaligus pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu, kelembapan, oksigen, pemberian cairan dan diet.
4.2 Saran
Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gagal jantung diperlukan pengkajian, konsep dan teori oleh seorang perawat.
Informasi atau pendidkan kesehatan berguna untuk klien dengan gagal jantung selain itu pengobatan terbaik untuk gagal jantung adalah pencegahan atau pengobatan dini terhadap penyebabnya.
Dunia kesehatan
Minggu, 16 Desember 2018
Kamis, 06 Desember 2018
STT (Soft Tissue Tumor)
Oleh :
Ida Ayu Rosyida
(NIM. 14401.16.17018)
PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
STT (SOFT TISSUE TUMOR)
A. PENGERTIAN
Soft Tissue Tumor (STT) adalah benjolan atau pembengkakan yang abnormal yang disebabkan oleh neoplasma dan non-neoplasma ( Smeltzer, 2002 ).
STT adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif, dimana sel selnya tidak tumbuh seperti kanker (Price, 2006).
Jadi kesimpulannya, STT adalah Suatu benjolan atau pembengkakan yang abnormal didalam tubuh yang disebabkan oleh neoplasma yang terletak antara kulit dan tulang
B. ETIOLOGI
1. Kondisi Genetik
Ada bukti tertentu pembentuk gen dan mutasi gen adalah faktor predisposisi untuk beberapa tumaoi jarinan lunak. Dalam daftar laporan gen yang abnormal, bahwa gen memiliki peran penting dalam menentukan diagnosis.
2. Radiasi
Mekanisme yang patogenik adalah munculnya mutasi gen radiasi-induksi yang mendorong transformasi neoplastik.
3. Infeksi
Infeksi firus epstein-bar bagi orang yang memiliki kekebalan tubuh yang lemah ini juga akan meningkatkan kemungkinan terkenanya STT.
4. Trauma
Hubungan antara trauma dengan STT mungkin hanya kebetulan saja. Trauma mungkin menarik perhatian medis ke pra-luka yang ada.
C. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala STT tidak spesifik. Tergantung dimana letak tumor atau benjolan tersebut berada. Awal mulanya gejala berupa adanya suatu benjolan dibawah kulit yang tidak terasa sakit. Hanya sedikit penderita yang merasakan sakit yang biasanya terjadi akibat perdarahan atau nekrosis dalam tumor, dan bisa juga karena adanya penekanan pada saraf – saraf tepi.
Tumor jinak jaringan lunak biasanya tumbuh lambat, tidak cepat membesar, bila dirabaterasa lunak dan bila tumor digerakan relatif masih mudah digerakan dari jaringan di sekitarnyadan tidak pernah menyebar ke tempat jauh.
Pada tahap awal, STT biasanya tidak menimbulkan gejala karena jaringan lunak yang relatif elastis, tumor atau benjolan tersebut dapat bertambah besar, mendorong jaringan normal. Kadang gejala pertama penderita merasa nyeri atau bengkak.
D. PATOFISIOLOGI
Pada umumnya tumor-tumor jaringan lunak atau Soft Tissue Tumors (STT) adalah proliferassi jaringan mesenkimal yang terjadi dijaringan nonepitelial ekstraskeletal tubuh.
Dapat timbul di tempat di mana saja, meskipun kira-kira 40% terjadi di ekstermitas bawah, terutamadaerah paha, 20% di ekstermitas atas, 10% di kepala dan leher, dan 30% di badan. Tumor jaringan lunak tumbuh centripetally, meskipun beberapa tumor jinak, sepertiserabut luka. Setelah tumor mencapai batas anatomis dari tempatnya, maka tumor membesar melewati batas sampai ke struktur neurovascular. Tumor jaringan lunak timbul di lokasi sepertilekukan-lekukan tubuh.
Proses alami dari kebanyakan tumor ganas dapat dibagi atas 4 fase yaitu :
1. Perubahan ganas pada sel-sel target, disebut sebagai transformasi
2. Pertumbuhan dari sel-sel transformasi.
3. Invasi lokal.
4. Metastasis jauh
E. PATHWAYS KEPERAWATAN
F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medik
a. Bedah
Mungkin cara ini sangat beresiko. Akan tetapi, para ahli bedah mencapai angka keberhasilan yang sangat memuaskan. Tindakan bedah ini bertujuan untuk mengangkat tumor atau benjolan tersebut.
b. Kemoterapi
Metode ini melakukan keperawatan penyakit dengan menggunakan zat kimia untuk membunuh sel sel tumor tersebut. Keperawatan ini berfungsi untuk menghambat pertumbuhan kerja sel tumor.
Pada saat sekarang, sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan tumor dan kanker dirawat menggunakan cara kemoterapi ini.
c. Terapi Radiasi
Terapi radiasi adalah terapi yang menggunakan radiasi yang bersumber dari radioaktif. Kadang radiasi yang diterima merupankan terapi tunggal. Tapi terkadang dikombinasikan dengan kemoterapi dan juga operasi pembedahan.
2. Penatalaksanaan Keperawaatan
a. Perhatikan kebersihan luka pada pasien
b. Perawatan luka pada pasien
c. Pemberian obat
d. Amati ada atau tidaknya komplikasi atau potensial yang akan terjadi setelah dilakukan operasi.
G. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Biodata : nama, umur, pekerjaan, alamat
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Pengkajian fisik
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan X-ray
X-ray untuk membantu pemahaman lebih lanjut tentang berbagai tumor jaringan lunak, transparansi serta hubungannya dengan tulang yang berdekatan. Jika batasnya jelas, sering didiagnosa sebagai tumor jinak, namun batas yang jelastetapi melihat kalsifikasi, dapat didiagnosa sebagai tumor ganas jaringan lunak, situasi terjadi di sarkoma sinovial, rhabdomyosarcoma, dan lainnya.
2. Pemeriksaan USG
Metode ini dapat memeriksa ukuran tumor, gema perbatasan amplop dan tumor jaringan internal, dan oleh karena itu bisa untuk membedakan antara jinak atau ganas. tumor ganas jaringan lunak tubuh yang agak tidak jelas, gema samar-samar, seperti sarkoma otot lurik, myosarcoma sinovial, sel tumor ganas berserat histiocytoma seperti. USG dapat membimbing untuk tumor mendalami sitologi aspirasi akupunktur.
3. CT scan
CT memiliki kerapatan resolusi dan resolusi spasial karakteristik tumor jaringan lunak yang merupakan metode umum untuk diagnosa tumor jaringan lunak dalam beberapa tahun terakhir.
4. Pemeriksaan MRI
Mendiagnosa tumor jinak jaringan lunak dapat melengkapi kekurangan dari X-ray dan CT-scan, MRI dapat melihat tampilan luar penampang berbagai tingkatan tumor dari semua jangkauan, tumor jaringan lunak retroperitoneal, tumor panggul memperluas ke pinggul atau paha, tumor fossa poplitea serta gambar yang lebih jelas dari tumor tulang atau invasi sumsum tulang, adalah untuk mendasarkan pengembangan rencana pengobatan yang lebih baik.
5. Pemeriksaan histopatologis
a. Sitologi: sederhana, cepat, metode pemeriksaan patologis yang akurat. Dioptimalkan untuk situasi berikut:
1) Ulserasi tumor jaringan lunak, Pap smear atau metode pengumpulan untuk mendapatkan sel, pemeriksaan mikroskopik
2) Sarcoma jaringan lunak yang disebabkan efusi pleura, hanya untuk mengambil spesimen segar harus segera konsentrasi sedimentasi sentrifugal, selanjutnya smear
3) Tusukan smear cocok untuk tumor yang lebih besar, dan tumor yang mendalam yang ditujukan untuk radioterapi atau kemoterapi, metastasis dan lesi rekuren juga berlaku.
b. Forsep biopsi: jaringan ulserasi tumor lunak, sitologi smear tidak dapat didiagnosis, lakukan forsep biopsi.
c. Memotong biopsy : Metode ini adalah kebanyakan untuk operasi.
d. Biopsi eksisi : berlaku untuk tumor kecil jaringan lunak, bersama dengan bagian dari jaringan normal di sekitar tumor reseksi seluruh tumor untuk pemeriksaan histologis.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Op
1. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
Post Op
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka post operasi
3. Resti infeksi berhubungan dengan luka post operasi
J. PERENCANAAN
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
Ditandai dengan:
a. Gelisah
b. Insomnia
c. Resah
d. Ketakutan
e. Sedih
f. Fokus pada diri
g. Kekhawatiran a. Anxiety control
b. Coping
Kriteria Hasil :
a. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
b. Mengidentifikasi, mengugkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontrol cemas
c. Vital sign dalam batas normal
d. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan a. Anxiety reduction (penurunan kecemasan)
- Gunakan pendekatan yang menenangkan
R/ meningkatkan bhsp
- Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
R/ agar pasien mengetahui tujuan dan prosedur tindakan
- Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
R/ mengurangi kecemasan pasien
- Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
R/ membantu mengungangi tingkat kecemasan
- Identifikasi tingkat kecemasan
R/ mengetahui tingkat kecemasan pasien
- Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
R/membantu pasien agar lebih tenang
- Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
R/ membantu pasien tenang dan nyaman
- Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
R/ cemas berkurang, pasien merasa tenang
- Berikan obat
R/untuk mengurangi kecemasan
2. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
Batasan Karakteristik :
a. Laporan secara verbal atau nonverbal
b. Fakta dari observasi
c. Posisi antalgik (menghindari nyeri)
d. Gerakan melindungi
e. Tingkah laku berhati-hati
f. Muka topeng (nyeri)
g. Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
h. Terfokus pada diri sendiri
i. Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang lain dan lingkungan)
j. Tingkah laku distraksi, contoh jalan-jalan, menemui orang lain dan atau aktivitas berulang-ulang
k. Respon autonom (seperti berkeringat, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil
l. Perubahan otonom dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
m. Tingkah laku ekspresif (contoh gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah
n. Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Faktor Yang Berhubungan :
Agen injury (biologi, kimia, fisik, psikologis)
a. Pain Level
b. Pain control
c. Comfort level
Kriteria Hasil :
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e. Tanda vital dalam rentang normal
a. Pain Management
- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
R/ mengetahui tindakan dan obat yang akan diberikan
- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
R/ mengetahui tingkat nyeri pasien
- Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
R/membantu pasien mengungkapkan perasaan nyerinya
- Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
R/untuk memberikan intervensi yang tepat
- Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
R/membantu mengurangi nyeri pasien
- Kurangi faktor presipitasi nyeri
R/ mengurangi nyeri pasien
- Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
R/ membantu mengurangi rasa nyeri pasien
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
R/ memberikan intervensi yang tepat
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi
R/mengurangi nyeri dengan cara pengobatan non farmakologis
- Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
R/ nyeri dapat berkurang
- Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
R/ nyeri terkontrol
- Tingkatkan istirahat
R/ menguragi nyeri
b. Analgesic Administration
- Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
R/ untuk memberikan intervensi yang tepat
- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
R/ benar dalam pemberian obat
- Cek riwayat alergi Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
R/ menentukan obat yang tidak alergi untuk pasien
- Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
R/ memberikan obat yang sesuai dengan keluhan
- Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
R/ mengetahui kondisi pasien
- Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
R/ membantu mengurangi nyeri
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka post operasi
Batasan karakteristik :
a. Gangguan pada bagian tubuh
b. Kerusakan lapisa kulit (dermis)
c. Gangguan permukaan kulit (epidermis)
Faktor yang berhubungan :
Eksternal :
a. Hipertermia atau hipotermia
b. Substansi kimia
c. Kelembaban udara
d. Faktor mekanik (misalnya : alat yang dapat menimbulkan luka, tekanan, restraint)
e. Immobilitas fisik
f. Radiasi
g. Usia yang ekstrim
h. Kelembaban kulit
i. Obat-obatan
Internal :
a. Perubahan status metabolik
b. Tulang menonjol
c. Defisit imunologi
Faktor yang berhubungan :
a. Gangguan sirkulasi
b. Iritasi kimia (ekskresi dan sekresi tubuh, medikasi)
c. Defisit cairan,kerusakan mobilitas fisik, keterbatasan pengetahuan, faktor mekanik (tekanan, gesekan) kurangnya nutrisi, radiasi, faktor suhu (suhu yang ekstrim) Tissue Integrity :
Skin and Mucous Membranes
Wound Healing :primary and secondary intention
Kriteria Hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
b. Tidak ada luka/lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
f. Tidak ada tanda-tanda infeksi
g. Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka
Pressure ulcer prevention
a. Wound care
- Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
R/ menjaga integritas kulit pasien
- Jaga kulit agar tetap bersih dan kering
R/agar kulit tetap lembab
- Hindari kerutan pada tempat tidur
R/ menjaga integritas kulit tetap baik
- Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
R/ membantu agar pasien nyaman
- Monitor kulit akan adanya kemerahan
R/ mengetahui kondisi integritas kulit
- Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
R/ agar kulit tetap terjaga tidak terjadi luka baru
- Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
R/ membantu pasien agar bisa mobilisasi
- Monitor status nutrisi pasien
R/ mengawasi pasien agar tidak kekurangan nutrisi
- Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
R/mempertahankan personal higyene pasien
- Observasi luka :lokasi, dimensi, kedalaman luka, karakteristik, warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi lokal.
R/ menguragi tanda-tanda infeksi
- Lakukan teknik perawatan luka dengan steril
R/mencegah adanya infeksi
3. Resti infeksi berhubungan dengan luka post operasi
Faktor-faktor resiko :
a. Prosedur Infasif
b. Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan patogen
c. Trauma
d. Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan
e. Ruptur membran amnion
f. Agen farmasi (imunosupresan)
g. Malnutrisi
h. Peningkatan paparan lingkungan patogen
i. Imonusupresi
j. Ketidakadekuatan imun buatan
k. Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi)
l. Tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan peristaltik)
m. Penyakit kronik
a. Immune Status
b. Knowledge : Infection control
c. Risk control
Kriteria Hasil :
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya,
c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
d. Jumlah leukosit dalam batas normal
e. Menunjukkan perilaku hidup sehat
a. Infection Control (Kontrol infeksi)
- Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
R/mengurangi resiko infeksi
- Pertahankan teknik isolasi
R/ menurunkan resiko kontminasi silang
- Batasi pengunjung bila perlu
R/ menurunkan resiko infeksi
- Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
R/ mencegah terjadinya kontaminasi silang
- Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
R/ mencegah terpajan pada organisme infeksius
- Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
R/ menurunkan resiko infeksi
- Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
R/ mempertahankan teknik steril
- Tingkatkan intake nutrisi
R/ membantu meningkatkan respon imun
- Berikan terapi antibiotik bila perlu
R/ mencegah terjadinya infeksi
b. Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
- Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
R/mengidentifikasi keadaan umum pasien dan luka
- Monitor hitung granulosit, WBC
R/ mengidentfikasi adanya infeksi
- Monitor kerentanan terhadap infeksi
R/ menghindari resiko infeksi
- Berikan perawatan kulit pada area epidema
R/ meningkatkan kesembuhan
- Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
R/mengetahui tingkat kesembuhan pasien
- Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
R/ membantu meningkatkan status pertahanan tubuh terhadap infeksi
- Ajarkan cara menghindari infeksi
R/ mempertahankan teknik aseptik
- Laporkan kultur positif
R/ mengetahui terjadinya infeksi pada luka
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat, R, Jong, W.D.(2005).Soft Tissue Tumor dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta : EGC
Weiss S.W.,Goldblum J.R.(2008).Soft Tissue Tumors.Fifth Edition. China : Mosby Elsevier
Manuaba, T.W.( 2010).Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid, Peraboi 2010. Jakarta : Sagung Seto
Smeltzer. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta : EGC
Reeves, J.C.(2001). Keperawatan medikal bedah. Jakarta : Salemba Medika
Price, Sylvia A. (2006).Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC
Nurarif A, H, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-Noc, Edisi Revisi Jilid 1. Jogjakarta : Mediaction Jogja
Potter and Perry Volume 2 .2006.Fundamental Keperawatan .Jakarta:EGC
Ida Ayu Rosyida
(NIM. 14401.16.17018)
PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
STT (SOFT TISSUE TUMOR)
A. PENGERTIAN
Soft Tissue Tumor (STT) adalah benjolan atau pembengkakan yang abnormal yang disebabkan oleh neoplasma dan non-neoplasma ( Smeltzer, 2002 ).
STT adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif, dimana sel selnya tidak tumbuh seperti kanker (Price, 2006).
Jadi kesimpulannya, STT adalah Suatu benjolan atau pembengkakan yang abnormal didalam tubuh yang disebabkan oleh neoplasma yang terletak antara kulit dan tulang
B. ETIOLOGI
1. Kondisi Genetik
Ada bukti tertentu pembentuk gen dan mutasi gen adalah faktor predisposisi untuk beberapa tumaoi jarinan lunak. Dalam daftar laporan gen yang abnormal, bahwa gen memiliki peran penting dalam menentukan diagnosis.
2. Radiasi
Mekanisme yang patogenik adalah munculnya mutasi gen radiasi-induksi yang mendorong transformasi neoplastik.
3. Infeksi
Infeksi firus epstein-bar bagi orang yang memiliki kekebalan tubuh yang lemah ini juga akan meningkatkan kemungkinan terkenanya STT.
4. Trauma
Hubungan antara trauma dengan STT mungkin hanya kebetulan saja. Trauma mungkin menarik perhatian medis ke pra-luka yang ada.
C. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala STT tidak spesifik. Tergantung dimana letak tumor atau benjolan tersebut berada. Awal mulanya gejala berupa adanya suatu benjolan dibawah kulit yang tidak terasa sakit. Hanya sedikit penderita yang merasakan sakit yang biasanya terjadi akibat perdarahan atau nekrosis dalam tumor, dan bisa juga karena adanya penekanan pada saraf – saraf tepi.
Tumor jinak jaringan lunak biasanya tumbuh lambat, tidak cepat membesar, bila dirabaterasa lunak dan bila tumor digerakan relatif masih mudah digerakan dari jaringan di sekitarnyadan tidak pernah menyebar ke tempat jauh.
Pada tahap awal, STT biasanya tidak menimbulkan gejala karena jaringan lunak yang relatif elastis, tumor atau benjolan tersebut dapat bertambah besar, mendorong jaringan normal. Kadang gejala pertama penderita merasa nyeri atau bengkak.
D. PATOFISIOLOGI
Pada umumnya tumor-tumor jaringan lunak atau Soft Tissue Tumors (STT) adalah proliferassi jaringan mesenkimal yang terjadi dijaringan nonepitelial ekstraskeletal tubuh.
Dapat timbul di tempat di mana saja, meskipun kira-kira 40% terjadi di ekstermitas bawah, terutamadaerah paha, 20% di ekstermitas atas, 10% di kepala dan leher, dan 30% di badan. Tumor jaringan lunak tumbuh centripetally, meskipun beberapa tumor jinak, sepertiserabut luka. Setelah tumor mencapai batas anatomis dari tempatnya, maka tumor membesar melewati batas sampai ke struktur neurovascular. Tumor jaringan lunak timbul di lokasi sepertilekukan-lekukan tubuh.
Proses alami dari kebanyakan tumor ganas dapat dibagi atas 4 fase yaitu :
1. Perubahan ganas pada sel-sel target, disebut sebagai transformasi
2. Pertumbuhan dari sel-sel transformasi.
3. Invasi lokal.
4. Metastasis jauh
E. PATHWAYS KEPERAWATAN
F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medik
a. Bedah
Mungkin cara ini sangat beresiko. Akan tetapi, para ahli bedah mencapai angka keberhasilan yang sangat memuaskan. Tindakan bedah ini bertujuan untuk mengangkat tumor atau benjolan tersebut.
b. Kemoterapi
Metode ini melakukan keperawatan penyakit dengan menggunakan zat kimia untuk membunuh sel sel tumor tersebut. Keperawatan ini berfungsi untuk menghambat pertumbuhan kerja sel tumor.
Pada saat sekarang, sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan tumor dan kanker dirawat menggunakan cara kemoterapi ini.
c. Terapi Radiasi
Terapi radiasi adalah terapi yang menggunakan radiasi yang bersumber dari radioaktif. Kadang radiasi yang diterima merupankan terapi tunggal. Tapi terkadang dikombinasikan dengan kemoterapi dan juga operasi pembedahan.
2. Penatalaksanaan Keperawaatan
a. Perhatikan kebersihan luka pada pasien
b. Perawatan luka pada pasien
c. Pemberian obat
d. Amati ada atau tidaknya komplikasi atau potensial yang akan terjadi setelah dilakukan operasi.
G. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Biodata : nama, umur, pekerjaan, alamat
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Pengkajian fisik
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan X-ray
X-ray untuk membantu pemahaman lebih lanjut tentang berbagai tumor jaringan lunak, transparansi serta hubungannya dengan tulang yang berdekatan. Jika batasnya jelas, sering didiagnosa sebagai tumor jinak, namun batas yang jelastetapi melihat kalsifikasi, dapat didiagnosa sebagai tumor ganas jaringan lunak, situasi terjadi di sarkoma sinovial, rhabdomyosarcoma, dan lainnya.
2. Pemeriksaan USG
Metode ini dapat memeriksa ukuran tumor, gema perbatasan amplop dan tumor jaringan internal, dan oleh karena itu bisa untuk membedakan antara jinak atau ganas. tumor ganas jaringan lunak tubuh yang agak tidak jelas, gema samar-samar, seperti sarkoma otot lurik, myosarcoma sinovial, sel tumor ganas berserat histiocytoma seperti. USG dapat membimbing untuk tumor mendalami sitologi aspirasi akupunktur.
3. CT scan
CT memiliki kerapatan resolusi dan resolusi spasial karakteristik tumor jaringan lunak yang merupakan metode umum untuk diagnosa tumor jaringan lunak dalam beberapa tahun terakhir.
4. Pemeriksaan MRI
Mendiagnosa tumor jinak jaringan lunak dapat melengkapi kekurangan dari X-ray dan CT-scan, MRI dapat melihat tampilan luar penampang berbagai tingkatan tumor dari semua jangkauan, tumor jaringan lunak retroperitoneal, tumor panggul memperluas ke pinggul atau paha, tumor fossa poplitea serta gambar yang lebih jelas dari tumor tulang atau invasi sumsum tulang, adalah untuk mendasarkan pengembangan rencana pengobatan yang lebih baik.
5. Pemeriksaan histopatologis
a. Sitologi: sederhana, cepat, metode pemeriksaan patologis yang akurat. Dioptimalkan untuk situasi berikut:
1) Ulserasi tumor jaringan lunak, Pap smear atau metode pengumpulan untuk mendapatkan sel, pemeriksaan mikroskopik
2) Sarcoma jaringan lunak yang disebabkan efusi pleura, hanya untuk mengambil spesimen segar harus segera konsentrasi sedimentasi sentrifugal, selanjutnya smear
3) Tusukan smear cocok untuk tumor yang lebih besar, dan tumor yang mendalam yang ditujukan untuk radioterapi atau kemoterapi, metastasis dan lesi rekuren juga berlaku.
b. Forsep biopsi: jaringan ulserasi tumor lunak, sitologi smear tidak dapat didiagnosis, lakukan forsep biopsi.
c. Memotong biopsy : Metode ini adalah kebanyakan untuk operasi.
d. Biopsi eksisi : berlaku untuk tumor kecil jaringan lunak, bersama dengan bagian dari jaringan normal di sekitar tumor reseksi seluruh tumor untuk pemeriksaan histologis.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Op
1. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
Post Op
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka post operasi
3. Resti infeksi berhubungan dengan luka post operasi
J. PERENCANAAN
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
Ditandai dengan:
a. Gelisah
b. Insomnia
c. Resah
d. Ketakutan
e. Sedih
f. Fokus pada diri
g. Kekhawatiran a. Anxiety control
b. Coping
Kriteria Hasil :
a. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
b. Mengidentifikasi, mengugkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontrol cemas
c. Vital sign dalam batas normal
d. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan a. Anxiety reduction (penurunan kecemasan)
- Gunakan pendekatan yang menenangkan
R/ meningkatkan bhsp
- Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
R/ agar pasien mengetahui tujuan dan prosedur tindakan
- Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
R/ mengurangi kecemasan pasien
- Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
R/ membantu mengungangi tingkat kecemasan
- Identifikasi tingkat kecemasan
R/ mengetahui tingkat kecemasan pasien
- Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
R/membantu pasien agar lebih tenang
- Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
R/ membantu pasien tenang dan nyaman
- Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
R/ cemas berkurang, pasien merasa tenang
- Berikan obat
R/untuk mengurangi kecemasan
2. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
Batasan Karakteristik :
a. Laporan secara verbal atau nonverbal
b. Fakta dari observasi
c. Posisi antalgik (menghindari nyeri)
d. Gerakan melindungi
e. Tingkah laku berhati-hati
f. Muka topeng (nyeri)
g. Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
h. Terfokus pada diri sendiri
i. Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang lain dan lingkungan)
j. Tingkah laku distraksi, contoh jalan-jalan, menemui orang lain dan atau aktivitas berulang-ulang
k. Respon autonom (seperti berkeringat, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil
l. Perubahan otonom dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
m. Tingkah laku ekspresif (contoh gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah
n. Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Faktor Yang Berhubungan :
Agen injury (biologi, kimia, fisik, psikologis)
a. Pain Level
b. Pain control
c. Comfort level
Kriteria Hasil :
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e. Tanda vital dalam rentang normal
a. Pain Management
- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
R/ mengetahui tindakan dan obat yang akan diberikan
- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
R/ mengetahui tingkat nyeri pasien
- Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
R/membantu pasien mengungkapkan perasaan nyerinya
- Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
R/untuk memberikan intervensi yang tepat
- Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
R/membantu mengurangi nyeri pasien
- Kurangi faktor presipitasi nyeri
R/ mengurangi nyeri pasien
- Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
R/ membantu mengurangi rasa nyeri pasien
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
R/ memberikan intervensi yang tepat
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi
R/mengurangi nyeri dengan cara pengobatan non farmakologis
- Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
R/ nyeri dapat berkurang
- Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
R/ nyeri terkontrol
- Tingkatkan istirahat
R/ menguragi nyeri
b. Analgesic Administration
- Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
R/ untuk memberikan intervensi yang tepat
- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
R/ benar dalam pemberian obat
- Cek riwayat alergi Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
R/ menentukan obat yang tidak alergi untuk pasien
- Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
R/ memberikan obat yang sesuai dengan keluhan
- Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
R/ mengetahui kondisi pasien
- Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
R/ membantu mengurangi nyeri
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka post operasi
Batasan karakteristik :
a. Gangguan pada bagian tubuh
b. Kerusakan lapisa kulit (dermis)
c. Gangguan permukaan kulit (epidermis)
Faktor yang berhubungan :
Eksternal :
a. Hipertermia atau hipotermia
b. Substansi kimia
c. Kelembaban udara
d. Faktor mekanik (misalnya : alat yang dapat menimbulkan luka, tekanan, restraint)
e. Immobilitas fisik
f. Radiasi
g. Usia yang ekstrim
h. Kelembaban kulit
i. Obat-obatan
Internal :
a. Perubahan status metabolik
b. Tulang menonjol
c. Defisit imunologi
Faktor yang berhubungan :
a. Gangguan sirkulasi
b. Iritasi kimia (ekskresi dan sekresi tubuh, medikasi)
c. Defisit cairan,kerusakan mobilitas fisik, keterbatasan pengetahuan, faktor mekanik (tekanan, gesekan) kurangnya nutrisi, radiasi, faktor suhu (suhu yang ekstrim) Tissue Integrity :
Skin and Mucous Membranes
Wound Healing :primary and secondary intention
Kriteria Hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
b. Tidak ada luka/lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
f. Tidak ada tanda-tanda infeksi
g. Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka
Pressure ulcer prevention
a. Wound care
- Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
R/ menjaga integritas kulit pasien
- Jaga kulit agar tetap bersih dan kering
R/agar kulit tetap lembab
- Hindari kerutan pada tempat tidur
R/ menjaga integritas kulit tetap baik
- Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
R/ membantu agar pasien nyaman
- Monitor kulit akan adanya kemerahan
R/ mengetahui kondisi integritas kulit
- Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
R/ agar kulit tetap terjaga tidak terjadi luka baru
- Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
R/ membantu pasien agar bisa mobilisasi
- Monitor status nutrisi pasien
R/ mengawasi pasien agar tidak kekurangan nutrisi
- Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
R/mempertahankan personal higyene pasien
- Observasi luka :lokasi, dimensi, kedalaman luka, karakteristik, warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi lokal.
R/ menguragi tanda-tanda infeksi
- Lakukan teknik perawatan luka dengan steril
R/mencegah adanya infeksi
3. Resti infeksi berhubungan dengan luka post operasi
Faktor-faktor resiko :
a. Prosedur Infasif
b. Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan patogen
c. Trauma
d. Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan
e. Ruptur membran amnion
f. Agen farmasi (imunosupresan)
g. Malnutrisi
h. Peningkatan paparan lingkungan patogen
i. Imonusupresi
j. Ketidakadekuatan imun buatan
k. Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi)
l. Tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan peristaltik)
m. Penyakit kronik
a. Immune Status
b. Knowledge : Infection control
c. Risk control
Kriteria Hasil :
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya,
c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
d. Jumlah leukosit dalam batas normal
e. Menunjukkan perilaku hidup sehat
a. Infection Control (Kontrol infeksi)
- Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
R/mengurangi resiko infeksi
- Pertahankan teknik isolasi
R/ menurunkan resiko kontminasi silang
- Batasi pengunjung bila perlu
R/ menurunkan resiko infeksi
- Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
R/ mencegah terjadinya kontaminasi silang
- Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
R/ mencegah terpajan pada organisme infeksius
- Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
R/ menurunkan resiko infeksi
- Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
R/ mempertahankan teknik steril
- Tingkatkan intake nutrisi
R/ membantu meningkatkan respon imun
- Berikan terapi antibiotik bila perlu
R/ mencegah terjadinya infeksi
b. Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
- Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
R/mengidentifikasi keadaan umum pasien dan luka
- Monitor hitung granulosit, WBC
R/ mengidentfikasi adanya infeksi
- Monitor kerentanan terhadap infeksi
R/ menghindari resiko infeksi
- Berikan perawatan kulit pada area epidema
R/ meningkatkan kesembuhan
- Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
R/mengetahui tingkat kesembuhan pasien
- Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
R/ membantu meningkatkan status pertahanan tubuh terhadap infeksi
- Ajarkan cara menghindari infeksi
R/ mempertahankan teknik aseptik
- Laporkan kultur positif
R/ mengetahui terjadinya infeksi pada luka
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat, R, Jong, W.D.(2005).Soft Tissue Tumor dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta : EGC
Weiss S.W.,Goldblum J.R.(2008).Soft Tissue Tumors.Fifth Edition. China : Mosby Elsevier
Manuaba, T.W.( 2010).Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid, Peraboi 2010. Jakarta : Sagung Seto
Smeltzer. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta : EGC
Reeves, J.C.(2001). Keperawatan medikal bedah. Jakarta : Salemba Medika
Price, Sylvia A. (2006).Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC
Nurarif A, H, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-Noc, Edisi Revisi Jilid 1. Jogjakarta : Mediaction Jogja
Potter and Perry Volume 2 .2006.Fundamental Keperawatan .Jakarta:EGC
Senin, 15 Oktober 2018
Effusi pleura
LAPORAN PENDAHULUAN EFUSI PLEURA
LAPORAN PENDAHULUAN EFUSI PLEURA
A. DEFINISI
Efusi pleura merupakan suatu gejala yang serius dandapat mengancam jiwa penderita.Efusi pleura yaitu suatu keadaan terdapatnya cairan dengan jumlah berlebihan dalam rongga pleura.Efusi pleura dapat di sebabkan antara lain karena tuberkulosis, neo plasma atau karsinoma, gagal jantung, pnemonia, dan infeksi virus maupun bakteri (Ariyanti, 2003)
Efusi pleura adalah jumlah cairan non purulen yang berlebihan dalam rongga pleural, antara lapisan visceral dan parietal (Mansjoer Arif, 2001).
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
B. KLASIFIKASI
1. Efusi pleura transudat
Pada efusi jenis transudat ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme terbentuknya transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF), penurunan onkotik (hipoalbumin) dan tekanan negative intra pleura yang meningkat (atelektaksis akut).
Ciri-ciri cairan:
a. Serosa jernih
b. Berat jenis rendah (dibawah 1.012)
c. Terdapat limfosit dan mesofel tetapi tidak ada neutrofil
d. Protein < 3%
Penimbunan cairan transudat dalam rongga pleura dikenal dengan hydrothorax, penyebabnya:
a. Payah jantung
b. Penyakiy ginjal (SN)
c. Penyakit hati (SH)
d. Hipoalbuminemia (malnutrisi, malabsorbsi)
2. Efusi pleura eksudat
Eksudat ini terbentuk sebagai akibat penyakit dari pleura itu sendiri yang berkaitan dengan peningkatan permeabilitas kapiler (missal pneumonia) atau drainase limfatik yang berkurang (missal obstruksi aliran limfa karena karsinoma). Ciri cairan eksudat:
a. Berat jenis > 1.015 %
b. Kadar protein > 3% atau 30 g/dl
c. Ratio protein pleura berbanding LDH serum 0,6
d. LDH cairan pleura lebih besar daripada 2/3 batas atas LDH serum normal
e. Warna cairan keruh
Penyebab dari efusi eksudat ini adalah:
a. Kanker : karsinoma bronkogenik, mesotelioma atau penyakit metastatic ke paru atau permukaan pleura.
b. Infark paru
c. Pneumonia
d. Pleuritis virus
C. ETIOLOGI
1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig(tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia,virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. DiIndonesia 80% karena tuberculosis.
3. Penyebab lain dari efusi pleura adalah:
a. Gagal jantung
b. Kadar protein yang rendah
c. Sirosis
d. Pneumonia
e. Tuberculosis
f. Emboli paru
g. Tumor
h. Cidera di dada
i. Obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, fenitoin klorpromazin, nitrofurantoin, bromokriptin, dantrolen, prokarbazin).
j. Pemasangan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.
D. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAY
PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura vicelaris, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara 1 – 20 cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur.Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan hanya sebagian kecil diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya banyak mikrovili disekitar sel – sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura tetap. Karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi. Keadan ini bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatik sebesar 9 cm H2o dan tekanan osmotic koloid sebesar 10 cm H2o. Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi tuberkulosa paru.
Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil Mikobakterium tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli,terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis local) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional). Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas membran. Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya effusi pleura akibat dari tuberkulosa paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya pengkejuan kearah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau columna vetebralis.
Adapun bentuk cairan effusi akibat tuberkolusa paru adalah merupakan eksudat, yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serous, kadang – kadang bisa juga hemarogik. Dalam setiap ml cairan pleura bias mengandung leukosit antara 500 – 2000. Mula – mula yang dominan adalah sel – sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit, Cairan effusi sangat sedikit mengandung kuman tubukolusa. Timbulnya cairan effusi bukanlah karena adanya bakteri tubukolosis, tapi karena akibat adanya effusi pleura dapat menimbulkan beberapa perubahan fisik antara lain : Irama pernapasan tidak teratur, frekwensi pernapasan meningkat , pergerakan dada asimetris, dada yanbg lebih cembung, fremitus raba melemah, perkusi redup. Selain hal – hal diatas ada perubahan lain yang ditimbulkan oleh effusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan suhu, batuk dan berat badan menurun.
PATHWAY
E. TANDA DAN GEJALA
1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan,setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderitaakan sesak napas
2. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeridada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.
3. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi, jika terjadi mpenumpukan cairan pleural yang signifikan.
4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karenacairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung(garis Ellis Damoiseu)
5. Didapati segitiga Garland yaitu daerah yang pada perkusi redup, timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco- Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura
F. KOMPLIKASI
1. Pneumotoraks (karena udara masuk melalui jarum)
2. Hemotoraks ( karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
3. Emboli udara (karena adanya laserasi yang cukup dalam, menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena pulmonalis)
4. Laserasi pleura viseralis
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen dada
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan.
2. CT scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor
3. USGdada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
4. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis(pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
5. Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
6. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang terkumpul.
7. Analisa cairan pleura
Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya sudut costophreicus yang tidak tajam. Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura diambil dengan jarum, tindakan ini disebut thorakosentesis. Setelah didapatkan cairan efusi dilakukan pemeriksaan seperti:
a. Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan glucose
b. Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi infeksi bakteri
c. Pemeriksaan hitung sel
8. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Langkah selanjutnya dalam evaluasi cairan pleura adalah untuk membedakan apakan cairan tersebut merupakan cairan transudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh faktor sistemik yang mengubah keseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Misalnya pada keadaan gagal jantung kiri, emboli paru, sirosis hepatis. Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi pleura eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru, pneumonia bakteri, infeksi virus, dan keganasan
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Aspirasi cairan pleura
Punksi pleura ditujukan untuk menegakkan diagnosa efusi plura yang dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan. Disamping itu punksi ditujukan pula untuk melakukan aspirasi atas dasar gangguan fugsi restriktif paru atau terjadinya desakan pada alat-alat mediastinal. Jumlah cairan yang boleh diaspirasi ditentukan atas pertimbangan keadaan umum penderita, tensi dan nadi. Makin lemah keadaan umum penderita makin sedikit jumlah cairan pleura yang bisa diaspirasi untuk membantu pernafasan penderita. Komplikasi yang dapat timbul dengan tindakan aspirasi :
a. Trauma
Karena aspirasi dilakukan dengan blind, kemungkinan dapat mengenai pembuluh darah, saraf atau alat-alat lain disamping merobek pleura parietalis yang dapat menyebabkan pneumothorak.
b. Mediastinal Displacement
Pindahnya struktur mediastinum dapat disebabkan oleh penekaran cairan pleura tersebut. Tetapi tekanan negatif saat punksi dapat menyebabkan bergesernya kembali struktur mediastinal. Tekanan negatif yang berlangsung singkat menyebabkan pergeseran struktur mediastinal kepada struktur semula atau struktur yang retroflux dapat menimbulkan perburukan keadaan terutama disebabkan terjadinya gangguan pada hemodinamik.
c. Gangguan keseimbangan cairan, Ph, elektroit, anemia dan hipoproteinemia.
Pada aspirasi pleura yang berulang kali dalam waktu yang lama dapat menimbulkan tiga pengaruh pokok :
1) Menyebabkan berkurangnya berbagai komponen intra vasculer yang dapat menyebabkan anemia, hipprotein, air dan berbagai gangguan elektrolit dalam tubuh
2) Aspirasi cairan pleura menimbulkan tekanan cavum pleura yang negatif sebagai faktor yang menimbulkan pembentukan cairan pleura yang lebih banyak
3) Aspirasi pleura dapat menimbulkan sekunder aspirasi.
2. Water Seal Drainage
Telah dilakukan oleh berbagai penyelidik akan tetapi bila WSD ini dihentikan maka akan terjadi kembali pembentukan cairan.
3. Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan berbagai obat-obatan pada pleura effusi selain hasilnya yang kontraversi juga mempunyai efek samping. Hal ini disebabkan pembentukan cairan karena malignancy adalah karena erosi pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaan citostatic misalnya tryetilenthiophosporamide, nitrogen mustard, dan penggunaan zat-zat lainnya seperi atabrine atau penggunaan talc poudrage tidak memberikan hasil yang banyak oleh karena tidak menyentuh pada faktor patofisiolgi dari terjadinya cairan pleura.
Pada prinsipnya metode untuk menghilangkan cairan pleura dapat pula menimbulkan gangguan fungsi vital . Selain aspirasi thoracosintesis yang berulang kali, dikenal ula berbagai cara lainnya yaitu :
4. Thoracosintesis
Dapat dengan melakukan apirasi yang berulang-ulang dan dapat pula dengan WSD atau dengan suction dengan tekanan 40 mmHg. Indikasi untuk melakukan torasentesis adalah :
a. Menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga plera.
b. Bila therapi spesifik pada penyakit prmer tidak efektif atau gagal.
c. Bila terjadi reakumulasi cairan.
Pengambilan pertama cairan pleura jangan lebih dari 1000 cc, karena pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan oedema paru yang ditandai dengan batuk dan sesak. Kerugian :
a. Tindakan thoraksentesis menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam cairan pleura.
b. Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura.
c. Dapat terjadi pneumothoraks.
5. Radiasi
Radiasi pada tumor justru menimbulkan effusi pleura disebabkan oleh karena kerusakan aliran limphe dari fibrosis. Akan tetapi beberapa publikasi terdapat laporan berkurangnya cairan setelah radiasi pada tumor mediastinum..
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
1) Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
2) Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tandatanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakitpenyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian Pola Fungsi
Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alcohol dan penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
h. Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien,
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnyalemah.
i. Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS.
Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
j. Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi
Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada.
Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
k. Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat
Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
l. Pemeriksaan Fisik
1) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.
2) Sistem Respirasi
Inspeksi Pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.
3) Sistem Cardiovasculer
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS – 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung.
Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.
Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta
adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.
4) Sistem Pencernaan
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35kali per menit.
Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, adakah
massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba.
Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).
5) Sistem Neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau comma
Pemeriksaan refleks patologis dan refleks fisiologisnya.
Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
6) Sistem Muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial
Palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refiltime.
Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
7) Sistem Integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport O2.
Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang,
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan), gangguan musculoskeletal, nyeri/ansietas, proses inflamasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya akumulasi sekret jalan napas
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru, kerusakan membran alveolar kapiler
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan keinginan makan sekunder akibat dyspnea
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan
3. RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN NOC NIC
1 Bersihan Jalan Nafas tidak Efektif berhubungan dengan adanya akumulasi sekret jalan napas NOC :
Respiratory status : Ventilation
Respiratory status : Airway patency
Aspiration Control
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas NIC :
Airway suction
Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
Monitor status oksigen pasien
Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
Airway Management
• Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
• Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
• Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
• Pasang mayo bila perlu
• Lakukan fisioterapi dada jika perlu
• Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
• Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
• Lakukan suction pada mayo
• Berikan bronkodilator bila perlu
• Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
• Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
• Monitor respirasi dan status O2
2. Pola Nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan)
NOC :
Respiratory status : Ventilation
Respiratory status : Airway patency
Vital sign Status
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) NIC :
Airway Management
• Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
• Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
• Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
• Pasang mayo bila perlu
• Lakukan fisioterapi dada jika perlu
• Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
• Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
• Lakukan suction pada mayo
• Berikan bronkodilator bila perlu
• Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
• Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
• Monitor respirasi dan status O2
Terapi Oksigen
• Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
• Pertahankan jalan nafas yang paten
• Atur peralatan oksigenasi
• Monitor aliran oksigen
• Pertahankan posisi pasien
• Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
• Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital sign Monitoring
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
Monitor kualitas dari nadi
Monitor frekuensi dan irama pernapasan
Monitor suara paru
Monitor pola pernapasan abnormal
Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
Monitor sianosis perifer
Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru, kerusakan membran alveolar kapiler
NOC :
Respiratory Status : Gas exchange
Respiratory Status : ventilation
Vital Sign Status
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress pernafasan
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Tanda tanda vital dalam rentang normal NIC :
Airway Management
• Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
• Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
• Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
• Pasang mayo bila perlu
• Lakukan fisioterapi dada jika perlu
• Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
• Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
• Lakukan suction pada mayo
• Berika bronkodilator bial perlu
• Barikan pelembab udara
• Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
• Monitor respirasi dan status O2
Respiratory Monitoring
• Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
• Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal
• Monitor suara nafas, seperti dengkur
• Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
• Catat lokasi trakea
• Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis)
• Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
• Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan napas utama
• auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan keinginan makan sekunder akibat dyspnea NOC :
Nutritional Status : food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda tanda malnutrisi
Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti NIC :
Nutrition Management
Kaji adanya alergi makanan
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
Berikan substansi gula
Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas normal
Monitor adanya penurunan berat badan
Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
Monitor lingkungan selama makan
Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
Monitor mual dan muntah
Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
Monitor makanan kesukaan
Monitor pertumbuhan dan perkembangan
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan
NOC :
Kowlwdge : disease process
Kowledge : health Behavior
Kriteria Hasil :
Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya NIC :
Teaching : disease Process
• Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik
• Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
• Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
• Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
• Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
• Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
• Hindari harapan yang kosong
• Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
• Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit
• Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
• Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan
• Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
• Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat
• Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
DAFTAR PUSTAKA
Alfarisi. 2010. Definisi dan Klasifikasi Efusi Pleura. Diakses pada tanggal 8 April 2012 pada http://doc-alfarisi.blogspot.com/2011/05/definisi-dan-klasifikasi-efusi-pleura.html
Brunner & Suddart, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3, Edisi 8, Penerbit RGC, Jakarta.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Smeltzer C Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed 8 Vol 1. Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN EFUSI PLEURA
A. DEFINISI
Efusi pleura merupakan suatu gejala yang serius dandapat mengancam jiwa penderita.Efusi pleura yaitu suatu keadaan terdapatnya cairan dengan jumlah berlebihan dalam rongga pleura.Efusi pleura dapat di sebabkan antara lain karena tuberkulosis, neo plasma atau karsinoma, gagal jantung, pnemonia, dan infeksi virus maupun bakteri (Ariyanti, 2003)
Efusi pleura adalah jumlah cairan non purulen yang berlebihan dalam rongga pleural, antara lapisan visceral dan parietal (Mansjoer Arif, 2001).
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
B. KLASIFIKASI
1. Efusi pleura transudat
Pada efusi jenis transudat ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme terbentuknya transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF), penurunan onkotik (hipoalbumin) dan tekanan negative intra pleura yang meningkat (atelektaksis akut).
Ciri-ciri cairan:
a. Serosa jernih
b. Berat jenis rendah (dibawah 1.012)
c. Terdapat limfosit dan mesofel tetapi tidak ada neutrofil
d. Protein < 3%
Penimbunan cairan transudat dalam rongga pleura dikenal dengan hydrothorax, penyebabnya:
a. Payah jantung
b. Penyakiy ginjal (SN)
c. Penyakit hati (SH)
d. Hipoalbuminemia (malnutrisi, malabsorbsi)
2. Efusi pleura eksudat
Eksudat ini terbentuk sebagai akibat penyakit dari pleura itu sendiri yang berkaitan dengan peningkatan permeabilitas kapiler (missal pneumonia) atau drainase limfatik yang berkurang (missal obstruksi aliran limfa karena karsinoma). Ciri cairan eksudat:
a. Berat jenis > 1.015 %
b. Kadar protein > 3% atau 30 g/dl
c. Ratio protein pleura berbanding LDH serum 0,6
d. LDH cairan pleura lebih besar daripada 2/3 batas atas LDH serum normal
e. Warna cairan keruh
Penyebab dari efusi eksudat ini adalah:
a. Kanker : karsinoma bronkogenik, mesotelioma atau penyakit metastatic ke paru atau permukaan pleura.
b. Infark paru
c. Pneumonia
d. Pleuritis virus
C. ETIOLOGI
1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig(tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia,virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. DiIndonesia 80% karena tuberculosis.
3. Penyebab lain dari efusi pleura adalah:
a. Gagal jantung
b. Kadar protein yang rendah
c. Sirosis
d. Pneumonia
e. Tuberculosis
f. Emboli paru
g. Tumor
h. Cidera di dada
i. Obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, fenitoin klorpromazin, nitrofurantoin, bromokriptin, dantrolen, prokarbazin).
j. Pemasangan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.
D. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAY
PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura vicelaris, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara 1 – 20 cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur.Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan hanya sebagian kecil diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya banyak mikrovili disekitar sel – sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura tetap. Karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi. Keadan ini bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatik sebesar 9 cm H2o dan tekanan osmotic koloid sebesar 10 cm H2o. Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi tuberkulosa paru.
Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil Mikobakterium tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli,terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis local) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional). Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas membran. Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya effusi pleura akibat dari tuberkulosa paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya pengkejuan kearah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau columna vetebralis.
Adapun bentuk cairan effusi akibat tuberkolusa paru adalah merupakan eksudat, yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serous, kadang – kadang bisa juga hemarogik. Dalam setiap ml cairan pleura bias mengandung leukosit antara 500 – 2000. Mula – mula yang dominan adalah sel – sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit, Cairan effusi sangat sedikit mengandung kuman tubukolusa. Timbulnya cairan effusi bukanlah karena adanya bakteri tubukolosis, tapi karena akibat adanya effusi pleura dapat menimbulkan beberapa perubahan fisik antara lain : Irama pernapasan tidak teratur, frekwensi pernapasan meningkat , pergerakan dada asimetris, dada yanbg lebih cembung, fremitus raba melemah, perkusi redup. Selain hal – hal diatas ada perubahan lain yang ditimbulkan oleh effusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan suhu, batuk dan berat badan menurun.
PATHWAY
E. TANDA DAN GEJALA
1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan,setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderitaakan sesak napas
2. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeridada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.
3. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi, jika terjadi mpenumpukan cairan pleural yang signifikan.
4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karenacairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung(garis Ellis Damoiseu)
5. Didapati segitiga Garland yaitu daerah yang pada perkusi redup, timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco- Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura
F. KOMPLIKASI
1. Pneumotoraks (karena udara masuk melalui jarum)
2. Hemotoraks ( karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
3. Emboli udara (karena adanya laserasi yang cukup dalam, menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena pulmonalis)
4. Laserasi pleura viseralis
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen dada
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan.
2. CT scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor
3. USGdada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
4. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis(pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
5. Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
6. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang terkumpul.
7. Analisa cairan pleura
Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya sudut costophreicus yang tidak tajam. Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura diambil dengan jarum, tindakan ini disebut thorakosentesis. Setelah didapatkan cairan efusi dilakukan pemeriksaan seperti:
a. Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan glucose
b. Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi infeksi bakteri
c. Pemeriksaan hitung sel
8. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Langkah selanjutnya dalam evaluasi cairan pleura adalah untuk membedakan apakan cairan tersebut merupakan cairan transudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh faktor sistemik yang mengubah keseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Misalnya pada keadaan gagal jantung kiri, emboli paru, sirosis hepatis. Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi pleura eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru, pneumonia bakteri, infeksi virus, dan keganasan
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Aspirasi cairan pleura
Punksi pleura ditujukan untuk menegakkan diagnosa efusi plura yang dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan. Disamping itu punksi ditujukan pula untuk melakukan aspirasi atas dasar gangguan fugsi restriktif paru atau terjadinya desakan pada alat-alat mediastinal. Jumlah cairan yang boleh diaspirasi ditentukan atas pertimbangan keadaan umum penderita, tensi dan nadi. Makin lemah keadaan umum penderita makin sedikit jumlah cairan pleura yang bisa diaspirasi untuk membantu pernafasan penderita. Komplikasi yang dapat timbul dengan tindakan aspirasi :
a. Trauma
Karena aspirasi dilakukan dengan blind, kemungkinan dapat mengenai pembuluh darah, saraf atau alat-alat lain disamping merobek pleura parietalis yang dapat menyebabkan pneumothorak.
b. Mediastinal Displacement
Pindahnya struktur mediastinum dapat disebabkan oleh penekaran cairan pleura tersebut. Tetapi tekanan negatif saat punksi dapat menyebabkan bergesernya kembali struktur mediastinal. Tekanan negatif yang berlangsung singkat menyebabkan pergeseran struktur mediastinal kepada struktur semula atau struktur yang retroflux dapat menimbulkan perburukan keadaan terutama disebabkan terjadinya gangguan pada hemodinamik.
c. Gangguan keseimbangan cairan, Ph, elektroit, anemia dan hipoproteinemia.
Pada aspirasi pleura yang berulang kali dalam waktu yang lama dapat menimbulkan tiga pengaruh pokok :
1) Menyebabkan berkurangnya berbagai komponen intra vasculer yang dapat menyebabkan anemia, hipprotein, air dan berbagai gangguan elektrolit dalam tubuh
2) Aspirasi cairan pleura menimbulkan tekanan cavum pleura yang negatif sebagai faktor yang menimbulkan pembentukan cairan pleura yang lebih banyak
3) Aspirasi pleura dapat menimbulkan sekunder aspirasi.
2. Water Seal Drainage
Telah dilakukan oleh berbagai penyelidik akan tetapi bila WSD ini dihentikan maka akan terjadi kembali pembentukan cairan.
3. Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan berbagai obat-obatan pada pleura effusi selain hasilnya yang kontraversi juga mempunyai efek samping. Hal ini disebabkan pembentukan cairan karena malignancy adalah karena erosi pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaan citostatic misalnya tryetilenthiophosporamide, nitrogen mustard, dan penggunaan zat-zat lainnya seperi atabrine atau penggunaan talc poudrage tidak memberikan hasil yang banyak oleh karena tidak menyentuh pada faktor patofisiolgi dari terjadinya cairan pleura.
Pada prinsipnya metode untuk menghilangkan cairan pleura dapat pula menimbulkan gangguan fungsi vital . Selain aspirasi thoracosintesis yang berulang kali, dikenal ula berbagai cara lainnya yaitu :
4. Thoracosintesis
Dapat dengan melakukan apirasi yang berulang-ulang dan dapat pula dengan WSD atau dengan suction dengan tekanan 40 mmHg. Indikasi untuk melakukan torasentesis adalah :
a. Menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga plera.
b. Bila therapi spesifik pada penyakit prmer tidak efektif atau gagal.
c. Bila terjadi reakumulasi cairan.
Pengambilan pertama cairan pleura jangan lebih dari 1000 cc, karena pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan oedema paru yang ditandai dengan batuk dan sesak. Kerugian :
a. Tindakan thoraksentesis menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam cairan pleura.
b. Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura.
c. Dapat terjadi pneumothoraks.
5. Radiasi
Radiasi pada tumor justru menimbulkan effusi pleura disebabkan oleh karena kerusakan aliran limphe dari fibrosis. Akan tetapi beberapa publikasi terdapat laporan berkurangnya cairan setelah radiasi pada tumor mediastinum..
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
1) Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
2) Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tandatanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakitpenyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian Pola Fungsi
Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alcohol dan penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
h. Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien,
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnyalemah.
i. Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS.
Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
j. Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi
Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada.
Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
k. Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat
Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
l. Pemeriksaan Fisik
1) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.
2) Sistem Respirasi
Inspeksi Pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.
3) Sistem Cardiovasculer
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS – 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung.
Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.
Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta
adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.
4) Sistem Pencernaan
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35kali per menit.
Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, adakah
massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba.
Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).
5) Sistem Neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau comma
Pemeriksaan refleks patologis dan refleks fisiologisnya.
Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
6) Sistem Muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial
Palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refiltime.
Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
7) Sistem Integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport O2.
Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang,
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan), gangguan musculoskeletal, nyeri/ansietas, proses inflamasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya akumulasi sekret jalan napas
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru, kerusakan membran alveolar kapiler
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan keinginan makan sekunder akibat dyspnea
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan
3. RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN NOC NIC
1 Bersihan Jalan Nafas tidak Efektif berhubungan dengan adanya akumulasi sekret jalan napas NOC :
Respiratory status : Ventilation
Respiratory status : Airway patency
Aspiration Control
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas NIC :
Airway suction
Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
Monitor status oksigen pasien
Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
Airway Management
• Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
• Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
• Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
• Pasang mayo bila perlu
• Lakukan fisioterapi dada jika perlu
• Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
• Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
• Lakukan suction pada mayo
• Berikan bronkodilator bila perlu
• Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
• Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
• Monitor respirasi dan status O2
2. Pola Nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan)
NOC :
Respiratory status : Ventilation
Respiratory status : Airway patency
Vital sign Status
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) NIC :
Airway Management
• Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
• Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
• Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
• Pasang mayo bila perlu
• Lakukan fisioterapi dada jika perlu
• Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
• Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
• Lakukan suction pada mayo
• Berikan bronkodilator bila perlu
• Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
• Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
• Monitor respirasi dan status O2
Terapi Oksigen
• Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
• Pertahankan jalan nafas yang paten
• Atur peralatan oksigenasi
• Monitor aliran oksigen
• Pertahankan posisi pasien
• Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
• Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital sign Monitoring
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
Monitor kualitas dari nadi
Monitor frekuensi dan irama pernapasan
Monitor suara paru
Monitor pola pernapasan abnormal
Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
Monitor sianosis perifer
Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru, kerusakan membran alveolar kapiler
NOC :
Respiratory Status : Gas exchange
Respiratory Status : ventilation
Vital Sign Status
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress pernafasan
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Tanda tanda vital dalam rentang normal NIC :
Airway Management
• Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
• Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
• Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
• Pasang mayo bila perlu
• Lakukan fisioterapi dada jika perlu
• Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
• Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
• Lakukan suction pada mayo
• Berika bronkodilator bial perlu
• Barikan pelembab udara
• Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
• Monitor respirasi dan status O2
Respiratory Monitoring
• Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
• Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal
• Monitor suara nafas, seperti dengkur
• Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
• Catat lokasi trakea
• Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis)
• Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
• Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan napas utama
• auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan keinginan makan sekunder akibat dyspnea NOC :
Nutritional Status : food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda tanda malnutrisi
Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti NIC :
Nutrition Management
Kaji adanya alergi makanan
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
Berikan substansi gula
Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas normal
Monitor adanya penurunan berat badan
Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
Monitor lingkungan selama makan
Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
Monitor mual dan muntah
Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
Monitor makanan kesukaan
Monitor pertumbuhan dan perkembangan
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan
NOC :
Kowlwdge : disease process
Kowledge : health Behavior
Kriteria Hasil :
Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya NIC :
Teaching : disease Process
• Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik
• Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
• Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
• Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
• Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
• Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
• Hindari harapan yang kosong
• Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
• Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit
• Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
• Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan
• Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
• Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat
• Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
DAFTAR PUSTAKA
Alfarisi. 2010. Definisi dan Klasifikasi Efusi Pleura. Diakses pada tanggal 8 April 2012 pada http://doc-alfarisi.blogspot.com/2011/05/definisi-dan-klasifikasi-efusi-pleura.html
Brunner & Suddart, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3, Edisi 8, Penerbit RGC, Jakarta.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Smeltzer C Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed 8 Vol 1. Jakarta: EGC.
Langganan:
Postingan (Atom)